Keloid merupakan suatu kelainan terbentuknya jaringan parut (scar) abnormal yang timbul sebagai akibat dari proses penyembuhan luka.
Keloid berupa jaringan skar yang tumbuh melebihi batas dari luka awal. Gejala umum yang biasa timbul adalah nyeri dan gatal. Hal ini disebabkan terutama karena sintesis dan degradasi kolagen yang tidak seimbang. Komponen yang menjadi pemicu dari pembentukan keloid adalah fibronektin dan glikosaminoglikan yang berlebihan.
Epidemiologi
Dinegara berkembang setiap tahunnya terdapat 100juta penderita dengan keluhan parut. Sekitar 55 juta kasus parut terjadi akibat luka pembedahan elektif dan 25 juta kasus parut terjadi pada pembedahan kasus trauma. Keloid dapat terjadi pada semua ras kecuali albino. Ras kulit hitam memiliki resiko hingga 15 kali lebih besar. Keloid lebih banyak mempengaruhi etnik Afrika, Asia dan Amerika Latin. Kerentanan secara genetik meningkatkan risiko keloid lebih besar 15% dibandingkan dengan populasi. Angka kejadian keloid lebih tinggi saat masa pubertas dan kehamilan dan menurun pada masa menopause. Hormon juga diduga memiliki peranan.
Faktor penyebab risiko dari keloid diduga berkaitan dengan beberapa hal. Riwayat keloid pada keluarga akan meningkatkan insiden keloid. Gen yang diduga berperan adalah HLA-B14, HLA-B21, HLA-BW16, HLA-BW35, HLA-DR5 dan HLA-DQW3.
Patofisiologi
Fase inflamasi yang mengalami pemanjangan merupakan penyebab dari timbulnya keloid maupun scar hipertrofik. Meningkatnya sel imun pada keloid meningkatkan aktivitas fibroblas dan terus terjadi pembentukan matriks ekstraseluler. Hal ini diduga kuat menjadi penyebab scar timbul melebihi batas luka pada keloid. Berbeda dengan scar hipertrofik, sel imun akan perlahan menurun sehingga memungkinkan terjadinya regresi.
Teori lain menyebutkan bahwa TGF-B memiliki peranan untuk terbentuknyya kelainan jaringan ini. Baik TGF-B1 atau TGF-B2 merupakan stimulan untuk sintesis kolagen dan proteoglikan serta mempengaruhi matrik ekstraseluler yang bukan hanya meningkatkan sintesis kolagen tapi juga menghambat pemecahannya.
Teori lain menyatakan bahwa apoptosis juga menyebabkan kelainan fibrosis. Pada fase awal terbentuknya scar hipertrofik terjadi hiperseluler dan pada fase remodeling sel fibroblas berkurang dan perlahan menjadi scar normal melalui proses apoptosis. Kelainan di fase apoptosis ini dapat menyebabkan kelainan jaringan.
Gejala klinis
Scar hipertrofik terbentuk mulai minggu ke-4 hingga ke-6 pasca luka dan tumbuh cepat hingga 6 bulan. Setelah itu akan mengalami regresi hingga terbentuk jaringan normal. Sedangkan pada keloid scar terus bertumbuh dan cenderung menetap.
Scar hipertrofik biasanya didahului dengan trauma dan luas scar tidak melebihi luas luka. Pembedahan menjadi pilihan penanganan yang baik.
Scar pada keloid bisa lebih luas dari area lukanya. Pembedahan akan menyebabkan perluasan scar akibat luka operasi.
Keloid dapat menjadi masalah fisik dan psikologis. Masalah fisik dapat berupa gatal, kulit kaku, kontrktur dan nyeri. Masalah psikologi meliputi gangguan percaya diri, kecemasan dan depresi.
Tatalaksana
Menghindari terjadinya luka berlebih merupakan tetap menjadi solusi terbaik dari pencegahan keloid. Semua terapi berikut dapat diaplikasikan baik pada scar hipertrofik maupun keloid. Namun, perlu diperhatikan perbedaan klinis antara keduanya. Terapi keloid lini pertama adalah injeksi kortikosteroid intralesi, tetapi lebih menunjukan hasil pada keloid yang kecil dan masih tahap awal. Terapi lini kedua adalah bedah eksisi, perlu dipertimbangkan apabila keloid tidak membaik setelah mendapat terapu lini pertama selama 12 bulan. Terapi bedah tidak dianjurkan sebagai terapi tunggal karena angka kekambuhan 50-100% bahkan dapat menyebabkan perluasan keloid. Terapi lini kedua yang lain adalah laser.
- Terapi tekan
Masih kontroversial dalam hal keefektifannya. Mekanisme dari terapi ini yaitu dengan memberikan tekanan, maka sintesis kolagen menurun karena terbatasnya suplai darah dan oksigen, serta nutrisi ke jaringan scar dan apoptosis diharapkan meningkat. Tekanan kontinue (15-40 mmHg) diberikan minimal 23 jam dan atau 1 hari selama 6 bulan atau selama scar masih aktif. Terapi ini memiliki kelemahan karena sering menyebabkan maserasi, eksema, ataupun bau tidak sedap karena penggunaan bahan kain. Terapi ini cenderung berhasil lebih baik pada anak-anak.
- Silicone Gel Sheeting
Terapi ini bekerja dengan meningkatkan temperatur parut 1-2 derajat dari suhu tubuh, hal ini akan mengakibatkan peningkatan aktivitas kolagenase. Anjuran penggunaan >_12 jam dan atau 1 hari dimulai sejak 2 minggu pasca penyembuhan luka. Penggunaan terapi ini sering dipakai pada area yang sering bergerak.
- Extractum Cepae
Memiliki turunannya quercetin. Memiliki efek anti inflamasi, anti bakterial dan fibrinolitik sehingga mampu menghambat proliferasi fibroblas dan produksi kolagen pada keloid dan scar hipertrofik. Zat ini banyak ditemukan pada bawang, apel, anggur merah dan teh hitam. Penggunaan topikal diberikan pasca tindakan laser untuk menghilangkan tatto dan sering digunakan sebagai terapi pencegahan terutama pasca tindakan bedah.
- Injeksi Kortikosteroid
Bekerja dengan cara mensupresi proses inflamasi luka. Selain itu, mampu mengurangi sintesis kolagen dan glikosaminoglikan, menghambat pertumbuhan fibroblast dan meningkatkan degradasi kolagen dan fibroblas. Injeksi intralesi menggunakan triamnicolon acetonide (TAC) 10-40mg/ml diulang setiap 3-4 minggu dapat dilakukan hingga 6 bulan memberikan hasil cukup baik. Lebih maksimal pada scar yang baru. Untuk scar lama hanya mengurangi sampai ukuran yang lebih kecil.
- Cryotherapy
Dapat sebagai terapi tunggal ataupun kombinasi dengan injeksi kortikosteroid. Untuk hasil yang lebih maksimal. Untuk kombinasi dilakukan cryotheraphy dulu kemudian injeksi steroid. Cryo menyebabkan kerusakan vaskuler sehingga terjadi anoksia dan nekrosis jaringan.
- Revisi scar
Sebelum tindakan bedah harus dipastikan apakah ini merupakan scar hipertrofik dan keloid. Pada penanganan scar hipertrofi, scar <1 tahun masih dapat menunjukan perbaikan tanpa manipulasi. Tingkat rekurensi setelah bedah pada scar hipertrofik lebih kecil. Berbeda dengan keloid tingkat rekurensi 45-100%.
- Radioterapi
Superficial x-rays, electron-beam terapi dan brachytherapy dosis rendah atau tinggi memberikan hasil yang cukup baik. Prinsip kerjanya yaitu dengan menghambat neovaskularisasi dan proliferasi fibroblas sehingga produksi kolagen menurun. Terapi sebaiknya dimulai sejak 24-48 jam pasca tindakan dengan dosis total 40 gy untuk mencegah efek samping hipo/hiperpigmentasi, eritema, telengiektasis dan atrofi.
- Laser
Terapi 585-nm pulse dye laser (PDL) sangat dianjurkan untuk terapi scar hipertrofik ataupun keloid. Untuk hasil yang maksimal sebaiknya diulangi hingga 2-6 kali. Dengan panas yang merusak kolagen terapi ini dipercaya dapat membentuk kolagenesis baru. Berhati-hati dengan efek samping hipo/hiperpigmentasi serta blister. Sering terjadi purpura pasca terapi yang bertahan hingga 7-10 hari. Terapi 1064-nm neodym, serupa dengan PDL namun, terapi dilakukan 5-10 kali dengan interval 1-2 minggu.
- Injeksi interferon
Salah satu terapi yang cukup baik karena IFN dapat mengurangi sitesis kolagen tipe 1 dan 2. INF-a2b memiliki efek antagonis terhadap TGF-b dan histamin. Penyuntikan intralesi 2 kali sehari selama 4 hari mampu mengurangi ukuran scar hingga 50% dihari ke-9.
- Injeksi doxorubicin
Memilki cara kerja menghambat sintesis kolagen dengan menghambat enzim prolidase yang memiliki peranan untuk resintesis kolagen.
- Injeksi verapamil
Merupakan golongan CCB untuk menghambat sintesis dari matriks ekstraseluler dan meningkatkan proses fibrinase.
- Bleomycin sulfate
Bekerja dengan langsung menghambat sintesis kolagen melalui mekanisme penghambatan TGF-B1. penyuntikan intralesi sebanyak 3-5 kali dalam 1 bulan terbukti menurunkan 69,4% keloid. Namun memiliki efek samping hiperpigmentasi dan atrofi dermal.
- 5-fluorouracil
Merupakan zat kemoterapi dengan meningkatkan apoptosis fibroblas. Injeksi setiap minggu selama 12 minggu berhasil mengurangi scar hingga 50% pada rata-rata pasien tanpa kegagalan dan rekuren dalam 24 bulan kemudian.
- Botulinum Toxin A (BTA)
Bekerja menghambat mobilisasi otot dan mengurangi tegangan kulit, sehingga dapat mengurangi mikrotrauma dan inflamasi. Uji coba injeksi 15 U BTA sepanjang garis operasi dengan jarak setiap 2 cm pada 24 jam pasca penutupan luka berhasil cukup baik.
Sinto, Linda. 2018. Scar hipertrofik dan keloid: Patofisiologi dan penatalaksanaan.
Rachmantyo, Brama et al. 2018. perbandingan terapi kombinasi laser CO2-injeksi triamnisolon dengan injeksi triamnisolon monoterapi pada keloid
Betarbet, udayan et al. 2020. Keloids: A review of etiology, prevention and treatment